Sebuah Perjalanan
Karya: Efiana Efi
Duka masa lalunyalah yang membawa ia ke
sini. Ke tempat yang jauh dari gemerlapnya kota. Flores, di
tempat dengan sejuta pesona ini ia akan memulai hidupnya dari awal. Berharap,
masa lalu itu tak akan menghantuinya lagi. Berharap rasa bersalah itu tak akan
membayanginya lagi.
“Terima kasih sudah datang, Nak.” Laki-laki paruh baya menyambut
kedatangannya. Menjabat tangannya erat. Raut mukanya ramah. Dimas tersenyum.
Mereka berjalan beriringan, menuju ke SMA satu-satunya di tempat ini. Di SMA
inilah Dimas akan membuka lembaran baru di hidupnya, menjadi seorang guru.
***
“Kakek?Apa Kakek pernah jatuh cinta?”Tiara
bertanya tiba-tiba.Pipinya merona, entahlah, mungkin virus cinta sedang
menyerang dirinya.
“Tentu saja.Kau
tahu, Nak?Di dunia ini banyak sekali jenis kisah cinta. Kau tahu cerita Cupid, si Dewa Cinta itu?” Kakek
memulai bercerita. Tiara antusias mendengarkan. Cerita Kakek selalu menarik.
“Tidak, Kek. Ayo ceritakan!”Tiara
yang masih berumur 12-an memohon-mohon.
Kakek tersenyum “Cupid adalah dewa cinta di mitologi Yunani. Dia membawa
panah, nah, menariknya panah itu bisa membuat 2 orang yang tak saling mengenal
atau saling membenci sekalipun jatuh cinta. Tapi Nak, ternyata si Dewa cinta
ini pun pernah jatuh cinta, dengan wanita biasa pula.” Tiara mengerjap-ngerjap,
ternyata setiap makhluk bisa jatuh cinta ya, tak peduli dia dewa sekalipun.
“Itulah, Nak. Kita sendiri tak tahu kapan cinta itu datang. Tapi kau
harus ingat nasehat dari orang tua ini, jangan terlalu mencintai seseorang,
karena kalau kita mencintainya terlalu banyak, bisa jadi, besok-besok kita akan
membencinya terlalu banyak pula. Cinta terbaik adalah cinta yang cukup, tak
terlalu banyak, tak terlalu sedikit.” Tiara mengangguk, ia tidak terlalu paham,
tapi esok lusa ia akan membuktikannya sendiri.
***
Tiara duduk bersama Kakek di teras rumah, berbincang tentang banyak hal.
Dua tiga kali tertawa kecil. Membuat rumah panggung sederhana ini terasa lebih
hidup. Umur Tiara sudah 15 sekarang. Sebentar lagi ia akan melanjutkan ke SMA.
Dan itu artinya dia harus meninggalkan Kakeknya sendirian di Kampung Komodo. Di
kampung ini, hanya ada SD dan SMP. Itulah kenapa jarang sekali anak yang
melanjutkan sekolah ke SMA.
Bagi mereka, pendidikan tak cukup penting, karena toh pada akhirnya
mereka akan menjadi nelayan juga. Sama seperti bapak ibunya. Tapi pandangan
Kakek berbeda, beliau bilang pendidikan itu amat penting. Perintah untuk
menuntut ilmu tertulis jelas dalam kitab suci.
“Ema1Inemu2 meninggal saat kau masih kecil, Nak. Kecelakaan
kapal,” jawab Kakek saat suatu hari Tiara bertanya tentang orang tuanya. “Orang
tuamu pebisnis yang hebat. Kau pasti sering bertanya-tanya, kenapa kulitmu
berbeda dengan yang lain. Itu karena kau tidak dilahirkan di tempat ini, Nak.
Kau lahir di kota yang sangat jauh dari sini, ribuan kilometer jaraknya.” Muka
Kakek muram, Tiara memandanginya lekat-lekat. Berjanji dalam hati tak akan
bertanya-tanya lagi.
“Kakek, apa aku harus melanjutkan sekolah di Flores? Kata Kakek, kita
bisa menuntut ilmu di mana saja, dan lewat apa saja. Berarti tak apa-apa kan
kalau aku belajar di sini saja? Tak usah melanjutkan?” tanya Tiara.
Kakek yang sedang memperbaiki jala menghentikan pekerjaannnya. Menatap
cucunya lekat-lekat. “Tidak, Nak. Bukankah Kakek sudah pernah mengatakan padamu?
Tuntutlah ilmu sampai ke Negeri Cina. Di sini tak ada sarana yang memadai untuk
sekolahmu. Itulah alasan kenapa kamu harus melanjutkan.”
“Tapi Kek, jika aku pergi itu artinya Kakek akan tinggal sendiri di
sini.”
“Tak apa, Nak. Orang tua ini masih punya tenaga untuk hidup mandiri. Kau
tidak lihat tulang Kakek yang masih kuat ini?” Kakek bergaya bak olahragawan.
Tiara tertawa. Lalu memeluk Kakeknya spontan. Berjanji dalam hati bahwa suatu
saat nanti ia akan membahagiakan Kakeknya.
***
“Teman-teman, perkenalkan, ngalit
nggaku3 Dimas, kakak guru
Matematika, Fisika, dan Kimia.” Dimas memperkenalkan dirinya di depan kelas.
Jangan heran kenapa dia mengajar 3 pelajaran sekaligus. Sma ini kekurangan guru
pengajar, itulah kenapa guru di sini 'dipaksa' untuk multitalenta, mengajar
beberapa pelajaran sekaligus.
Pendidikan di daerah Flores terlalu minim, gedung sekolah ini saja sudah
usang. Fasilitasnya kurang memadai, hanya ada 5 ruangan di sekolah ini. 1
ruangan guru, yang juga berfungsi sebagai perpustakaan, 3 ruang
kelas--masing-masing dihuni 40 siswa dan 1 kamar mandi. Tapi jangan salah,
meskipun fasilitasnya tak memadai, tapi lulusannya amat berkualitas.Gubernur
NTT saja alummi sini, wuihh hebat!
“Teman-teman, Botang4?” Dimas mencoba berbicara dengan berbicara dengan
bahasa Riung.
“Lawe-lawe5.”Muridnya menjawab
serempak.
Tiara menyikut tangan teman sebelahnya.“Aksennya
lucu ya,” kata Tiara.
“Ststst, kak Dimas memang tak berasal dari sini. Dia berasal dari tempat
jauh.” Temannya berbisik menjelaskan. Tiara nyengir,
tentu saja dia tahu itu. Kemudian pandangan beralih ke papan tulis,
mendengarkan dengan saksama penjelasan Dimas.
“Teman-teman, meskipun fasilitas di sini kurang memadai, kita tetap
harus semangat. Kita harus buktikan eksistensi kita. Buktikan bahwa kita bisa
menjadi kebanggaan Indonesia.” Murid-muridnya mengangguk. Dimas tersenyum, ia
sadar betapa pentingnya motivasi untuk mereka semua. Agar mereka tetap
bersemangat dalam keterbatasan.
“Kakak, saya boleh bertanya?” Tiara mengacungkan tangan.
Dimas mengangguk,”tentu saja boleh.”
“Apa motivasi kakak untuk mengajar di sini? kata teman-teman kakak
berasal dari kota besar.”
Dimas tersenyum tanggung, dia tak mungkin menjawab bahwa duka masa lalu
itulah yang membawanya ke sini.
“Selama ini pemerintah kurang memperhatikan kalian. Itulah kenapa saya datang
ke sini. Kakak ingin menjadikan kalian kebanggaan bangsa.” Murid-muridnya
spontan bertepuk tangan. Mereka berbisik-bisik. Guru ini berbeda dengan guru
yang lain. Dia tulus.
***
Sungguh betapa
besar bara cinta kupendam dalam jiwa,
tapi apalah
daya tak kuasa kuungkapkan.
Biarlah
kupungut harapan yang tersisa.
Dan kusimpan
dalam diam.
Kelas itu riuh oleh tepuk tangan, setelah Tiara membacakan puisi spontan
hasil karyanya. Anak ini sungguh berbakat.
“Terima kasih, Tiara. Silahkan duduk.” Pak Edo kemudian meminta Ester
untuk maju ke depan. Membacakan puisi karangannya. Kelas kembali riuh oleh
tepuk tangan. Puisi yang dibacakan semuanya bagus, satu dua malah terdengar
lucu. Lewat tengah hari semua puisi telah dibacakan. Tiara bersiap-siap untuk
pulang.
“Puisimu sangat bagus, Tiara.” Tiba-tiba Dimas sudah berada di
sampingnya. Tiara kaget.
“Kakak mendengar puisiku?”
“Iya. Kakak kebetulan lewat kelasmu dan mendengar ada seseorang yang
tengah membacakan puisinya. Indah sekali.”
“Terima kasih.” Pipi Tiara merona karena malu, ia tak menyangka bahwa ia
akan dipuji seperti itu. Dan lagi-lagi Tiara merasakan jantungnya
berdebar-debar. Astaga! Tidak seharusnya ia merasakan itu.
“Ngomong-ngomong, aksen kakak sewaktu ngomong pakai bahasa Flores kemarin
lucu.” Tiara nyengir. Sedangkan
pemuda yang berusia 28 tahun itu tertawa.
“Hahaha. Maklumlah, kakak baru beberapa minggu di sini, belum paham
betul bahasa daerah. Tiara mau
melatih kakak agar bisa bahasa Flores?” Dimas bertanya serius.
3Nama
saya4Apa
kabar?5Baik
4 Ibu
|
|
“Tentu saja! Ayo kita belajar sekarang,”katanya
bersemangat. Dimas tersenyum geli. Semangat sekali anak ini. “Di Flores ini
banyak sekali bahasa daerahnya, kak. Bahkan, bisa jadi, dalam satu kecamatan
saja sudah berbeda,” ujar Tiara yang didaulat menjadi guru. Dimas mendengarkan
dengan serius.
“Bahasa yang kemarin Kakak gunakan itu bahasa setempat, bahasa Riung.
Beberapa kosa kata mirip dengan Bahasa Indonesia, jadi ini sedikit mudah.
Baiklah, kita mulai. Awalan B berubah menjadi W. Misal batu menjadi watu, bibir menjadi wiwir, beli menjadi weli.”
Dimas mengangguk.
“Kalau begitu, bulan menjadi wulan, batas menjadi watas? Begitu?”
“Benar. Kakak memang pintar.”
“Siapa dulu dong gurunya? Tiara gitu.”
“Haha. Sudahlah, Kak. Itu baru dasarnya. Tentu saja mudah.”
“Hahaha. Eh Tiara kamu jangan panggil aku kakak. Itu kesannya terlalu
formal. Panggil saja abang. Oke?” Tiara mengangguk. Boleh juga.
***
“Teman-teman.Wilayah
Indonesia ini sangat luas, Flores hanya sebagian kecil dari wilayah
Indonesia.Nah, karena itu, coba bayangkan kalau pemerintah harus mengurus semua
wilayah ini,” Dimas melingkari semua wilayah Indonesia yang digambarnya, “tanpa
terlewatkan sedikitpun.Itu tak mungkin bukan?”Muridnya mengangguk-angguk.
“Tapi
kan ada wakil-wakil per provinsi, lalu setiap provinsi ada wakil-wakil per
kabupaten.Setiap kabupaten ada wakil-wakil per kecamatan, dan
seterusnya.Seharusnya mereka bisa mengakomodasi semua kepentingan rakyat,”
sanggah Tiara.Satu kelas berbisik-bisik, benar juga.
“Kamu
benar, Tiara. Tapi kita juga harus tahu, keinginan orang-orang itu tak selalu
sama. Kita lihat saja kelas ini.Di kelas yang hanya berjumlah 40 ini saja ada
beragam pendapat. Sewaktu pemilihan ketua kelas kemarin, si A memilih B, si C
memilih D dengan pertimbangannya sendiri-sendiri. Nah, apalagi negara, negara
sudah berusaha memenuhi keinginan warganya tapi apa boleh buat? Tentu saja
tidak semua keinginan di penuhi.Anggaran negara terbatas, itulah kenapa,
meskipun sudah digalakkan pemerataan pembangunan, pemerataan pendidikan.Tetap
saja, tidak semua merata. Tapi kabar baiknya, meskipun fasilitas sekolah kita
tak sebaik sekolah-sekolah di kota. Kita masih bisa menghasilkan lulusan yang
berkualitas.”Dimas berhenti sejenak.
“
Jadi, jangan sampai hanya karena kekurangan fasilitas, ataupun kekurangan yang
lain kita lantas patah semangat. Tidak! Tentu saja tidak boleh.Saya yakin,
kalian yang ada di sini pasti berkeinginan kuat untuk maju.Oleh karena itu,
marilah kita buktikan. Bahwa kita bisa! Kita akan buat Ema dan Ine kalian
bangga dengan prestasi kita,”lanjutnya.
Satu
kelas bertepuk tangan.Semangat mereka menyala-nyala. Dimas tersenyum, ia telah
berhasil menumbuhkan semangat pada anak didiknya.
“Abang hebat!” kata Tiara seusai
pulang sekolah.
“Hebat bagaimana?” Dimas bertanya,
pura-pura tidak mengerti.
“Abang sudah berhasil membuat kami
bersemangat menuntut ilmu. Motivasi abang itu sangat berguna untuk kami. Abang
tahu? Di kampungku, Kampung Komodo, tidak banyak anak yang mau melanjutkan
sekolah. Kata mereka, sekolah itu tak penting karena toh pada akhirnya mereka
akan tetap jadi nelayan juga atau paling banter jadi perajin cenderamata
komodo. Tapi akan kubuktikan bahwa yang mereka katakan itu salah! Kelak aku
akan jadi dokter. Kelak aku akan membawa kampungku menjadi kampung yang lebih
baik!” Kata Tiara berapi-api.
Dimas menepuk-nepuk bahu Tiara.
Lantas tersenyum. Tiara membalas senyumannya.Mereka
bertatapan. Dimas bertanya dalam hati, Ah! Apakah, apakah kalau dia tahu
semuanya dia akan tetap menatapku seperti ini? Semoga saja.
***
“Kakek,
aku mau bertanya?”Tiara membuka pembicaraan. Ini kunjungannya yang ke sekian
kali sejak ia sekolah di Flores.
“Apa
Tiara? Tanya apa?”
Tiara
mengambil napas, menghembuskannya, berkali-kali, ia memantabkan hatinya, ia
harus bertanya, ia harus! Kakek memandangnya lekat-lekat, ia tahu, ada sesuatu
yang amat penting.
“Kalau
Tiara jatuh cinta dengan seseorang, apakah itu salah, Kek?”
“Tentu
saja boleh, sayang.Ternyata cucu Kakek ini sudah besar.Sudah jatuh cinta.”
“Tapi
Kek, apa tidak papa kalau jatuh cinta pada orang yang lebih tua?”Tiara
bertanya, hati-hati.
“Tak
apa-apa, Nak.Cinta itu tak mengenal batasan umur.”
“Termasuk
jika ada murid yang mencintai gurunya sendiri?” Kakek terkejut, tak menyangka
bahwa cucunya ini akan bertanya demikian.
“Iya,
Nak. Kau mau mendengar cerita Kakek?”Tiara mengangguk, antusias.
“Cinta
itu tak mengenal batasan umur, Nak.Dulu, dulu sekali, pernah ada seorang guru
yang mencintai muridnya sendiri, namanya Peter Abelard.Tapi sayang, Nak, cinta mereka
dipisahkan oleh pamannya.Tapi kau tahu?Cinta mereka tetap abadi. Bahkan, hingga
saat ini surat cinta yang mereka tulis saat terpisah diyakini masih ada.
Itulah, Nak. Cinta sejati itu selalu menemukan jalan.Tapi kau harus ingat.Cinta
itu tak harus memiliki, kau tak bisa memaksa seseorang untuk mencintaimu.”Tiara
mengangguk.
“Nah,
sekarang ceritakan pada Kakek tentang guru yang membuatmu jatuh cinta itu.”
Tiara tersenyum malu-malu, lalu ia menceritakan semuanya, mulai dari rasa
kagumnya pada sosok Dimas, lalu ketika berlahan rasa kagum itu berubah menjadi
cinta.
Tiara
sibuk bercerita sampai tak menyadari bahwa Kakeknya menghela napas saat ia
menyebut nama Dimas.
“Ah ya, Nak. Daritadi kau belum
bercerita tentang sekolahmu bukan? Bagaimana sekolahmu kemarin? Menyenangkan?”
“Tentu saja! Lihat, Kek. Aku
mendapat nilai 100 di ulangan matematikaku.” Tiara menunjukkan kertas
ulangannya, tersenyum bangga.
“Bagus! Cucu Kakek ini memang hebat.”
Kakek menatap Tiara bangga, “tapi semoga ini bukan hanya di pelajaran
matematika, fisika, kimia saja.” Kakek tersenyum jail.
Tiara tersenyum malu-malu. “Ihh.
Kakek! Kakek pikir ini karena Bang Dimas semata? Tentu saja tidak, Kek. Di
pelajaran yang lain aku juga sungguh-sungguh.” Tiara mengerucutkan bibir.
Mukanya jadi terlihat lucu. Kakek tertawa lepas. Menertawakan wajah cucunya
ini.
***
“Tiara! Nanti pulang sekolah temui
abang di tempat biasa. Ada sesuatu yang mau abang ceritakan,” kata Dimas saat
Tiara baru mau masuk kelas.
Tiara mengangguk, “oke, Bang!”. Lalu
dia masuk ke kelas. Meletakkan tasnya.
“Tiara, sejak kapan kau dekat dengan
Kak Dimas? Dan sejak kapan kau memanggilnya abang?” Melati, teman sebangkunya
bertanya penasaran. Tiara tersenyum, lihatlah muka penasaran Melati lucu
sekali.
“Sudah lama. Abang Dimas sering
memintaku untuk mengajarinya bahasa Riung.”
“Apa? Kenapa kau tak pernah
bilang-bilang? Tahu gitu kan, aku juga ikut mengajari Bang Dimas. Kan lumayan,
aku bisa berlama-lama memandangi wajahnya yang ganteng itu.” Pandangan Melati
menerawang ke depan.
“Aihh! Dasar kau ini!” Tiara
mencubit Melati, menghentikan lamunannya, Melati nyengir.
“Kamu suka sama Bang Dimas ya?”
Tiara bertanya tiba-tiba.
“Tentu saja! Hampir semua siswi di
sekolah ini mengidolakan dia.” Tiara kaget, hatinya terasa panas. Dia berusaha
untuk tetap tenang, sudahlah, setiap orang berhak untuk mencintainya, tapi
pasti hanya ada satu orang yang dicintai Bang Dimas. Dan Tiara berharap itu
dirinya, setidaknya meskipun umur mereka terpaut 12 tahun, tapi selama ini Bang
Dimas seperti punya perhatian khusus dengannya.
“Sudah lama, Bang?” Tiara mendekati
Dimas, napasnya terengah-engah. Dimas menoleh, tersenyum.
“Tidak. Baru saja kok. Duduk sini.”
Ia menunjuk bangku di sampingnya.
“Tiara tahu nggak? Abang sangat
menyayangi Tiara.”
Tiara tersenyum, “benarkah?” Hatinya
seperti melayang ke udara.
“Tentu saja. Tiara sudah abang
anggap sebagai adik sendiri.” Senyum Tiara mendadak menghilang. Adik?! Dia
ingin yang lebih dari itu. Dia merasakan sakit di hatinya. Jadi perhatian itu
hanya karena Dimas menganggapnya sebagai adik?
“Nah, Dik. Kau pernah bertanya apa
motivasi abang datang ke sini kan?” Tiara mengangguk, ya, dulu dia pernah
menanyakan itu dan bukankah sudah dijawab?
“Waktu itu abang sudah menjawabnya
bukan? Sebenarnya itu bukan motivasi utama abang datang ke sini.” Dimas
menghela napas, ia memandang Tiara lekat-lekat.
“Maksud abang? Lalu apa motivasi
utamanya?” Tanya Tiara, ia menatap Dimas lamat-lamat. Ia sejenak melupakan rasa
sakit di hatinya.
Dimas mengambil napas,
menghembuskannya. Ia menahan gemuruh di hatinya.
“Duka masa lalu itu, duka masa lalu
itu yang membawa abang ke mari, berharap bisa memulai semuanya dari awal.”
Tiara menatap abangnya ini, duka masa
lalu apa?
“Apa Tiara rindu dengan orang tua
Tiara?”lanjutnya
“Tentu
saja, bang.Tapi sayang mereka sudah meninggal.Kecelakaan kapal saat Tiara umur
3 tahun.”Tiara menyeka ujung matanya yang berair.
“Maafkan
abang, Tiara.”Dimas mengelus-elus rambut Tiara.
“Tak apa, Bang. Tiara sudah biasa
ditanyai begini.” Tiara berusaha untuk tersenyum.
“Tidak Tiara. Abang minta maaf untuk
hal lain,” pandangan Dimas beralih ke depan. Lihatlah bahkan pemandangan yang
indah ini pun tak mampu menyapu penyesalan dalam hatinya.
“Maksud abang?” Tiara memandang
orang di sampingnya ini dengan pandangan heran. Matanya mencoba mencari-cari.
“Dulu, saat abang baru berumur 16
tahun, abang sama sepertimu, semangat menggapai impian. Tapi sayang, abang tak
punya biaya untuk sekolah. Lalu, orang itu, orang itu menyekolahkan abang, dia
amat baik. Membuat abang sangat bersyukur mengenal orang seperti dia.” Dimas
berhenti sejenak, dahi Tiara terlipat, ia tidak mengerti.
“Tapi
ternyata abang salah, Tiara.Abang sepenuhnya salah. Orang itu licik, ia hanya
ingin memanfaatkan abang. Abang yang tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi
hanya mengikuti keinginannya. Termasuk saat ia menyuruh Abang untuk meletakkan
bom di kapal itu. Katanya dia ingin menangkap orang jahat yang ada di kapal itu.”Bom?Kapal?Ribuan pertanyaan mendadak
bermunculan di kepala Tiara.
“Tapi
Tiara, abang sungguh tak menyangka bahwa itu hanya akal bulusnya untuk
menyingkirkan lawan bisnisnya.”
“Tunggu!Apa
maksud abang?”Tiara bertanya tak sabaran.Dimas menghembuskan napas.
“Aku
minta maaf Tiara.Akulah yang menyebabkan orang tuamu meninggal.Tapi sungguh
Tiara aku benar-benar tak tahu.Aku benar-benar bodoh waktu itu.”
“Tidak!Abang
pasti berbohong.Orang tuaku meninggal karena kecelakaan kapal.Bukan dibunuh.”Tiara
menggeleng-gelengkan kepalanya.Ini tak
mungkin!
“Kelihatannya
itu memang kecelakaan kapal tapi kau salah, orang itu sengaja menyettingnya
sedemikian rupa sehingga tak ada yang tahu bahwa kapal itu tenggelam karena
ledakan bom.”
Tangis
Tiara meledak.Ia menjauh dari orang yang dipanggilnya abang itu.
“Kalau
begitu kamu..kamu sudah membunuh orang tuaku. Kamu pembunuh!”Tiara
berteriak.Air matanya berjatuhan satu per satu.Ia merasakan sakit di hatinya,
lebih sakit dari kenyataan bahwa ia hanya dianggap adik.
“Tidak
Tiara! Abang tak tahu. Kalau saja abang tahu, abang tak akan pernah meletakkan
bom itu di situ. Maafkan, abang.”Dimas bersimpuh di hadapan Tiara.Tiara
beringsut menjauh, dia tidak ingin berada dekat dengan pembunuh orang tuanya
ini.Matanya menyala marah, dia tidak menyangka, orang yang selama ini
dicintainya ternyata pembunuh orang tuanya.
“Pergi!
Pergi! Pembunuh seperti kamu tak pantas berada di sini.”
“Tiara,
abang mohon, maafkan aku!Aku hanya ingin meminta maaf.Aku tahu kau sangat marah padaku.
Tentu saja kau berhak marah. Tapi kumohon, maafkan aku.”
“Aku .. aku tak akan pernah
memaafkanmu.” Potong Tiara cepat, “dan orang sepertimu tak pantas kupanggil
abang,” kata Tiara tajam.
Tiara berlari menjauhi Dimas.
Meninggalkannya sendiri. Kenyataan ini begitu sulit untuk diterimanya. Orang
yang selama ini dicintainya ternyata pembunuh! Tiara terus berlari, tanpa
peduli bahwa air matanya tak berhenti dari tadi.
***
Tiara mengetuk pintu rumah itu. Air
mata masih meleleh di pipinya. Segera setelah pintu itu dibuka, ia menghambur
ke pelukan Kakek. Kakek terkejut, namun, tak banyak bertanya. Lalu
mempersilahkan Tiara masuk dan membuatkannya teh hangat. Tiara menerima teh itu
dengan tangan bergetar.
Lihatlah! Bahkan ia tak merasakan
hangatnya teh buatan Kakek. Tapi ia
merasakan yang satu itu. Sakit sekali! Keduanya terdiam.Kakek hendak bertanya
namun urung.Biarlah cucunya tenang dulu.
“Kek!Kakek
sepenuhnya benar. Kita tak boleh mencintai seseorang terlalu banyak, karena
bisa jadi, besok-besok kita akan membencinya terlalu banyak pula. Kakek benar!”Tangis
Tiara bertambah keras.Kakek beringsut mendekati Tiara.Mengelus-elus
rambutnya.Berusaha menenangkan.
“Orang
itu sudah membunuh ayah dan ibu, Kek!Orang itu jahat sekali.” Tiara menggigit bibir,
berusaha membendung tangisnya. “Aku tak menyangka ia setega itu.”
Kakek menghela napas, ia sudah tahu
kenyataan pahit itu, “sudahlah, Nak. Semuanya sudah terjadi, Nak Dimas juga
sudah minta maaf kan?”
“Tidak Kek! Aku tidak akan
memaafkannya meskipun ia meminta maaf seribu kali,” kata Tiara tajam. Di
dadanya sudah tertanam rasa benci yang amat dalam. Kakeknya menghela napas.
“Sudahlah, Nak. Nak Dimas
benar-benar tulus meminta maaf. Ia bahkan sudah menemui Kakek dan berlutut di
hadapan Kakek.”
“Tunggu!” Tukas Tiara cepat, “jadi
Kakek sudah tahu bahwa dia pembunuh Ema dan
Ine? Lalu kenapa Kakek tak beritahu
Tiara?”
“Maafkan Kakek. Nak Dimas bilang dia
sendiri yang akan memberitahumu. Semuanya perlu waktu. Kita tak perlu menghakiminya,
Nak. Sama sekali tak perlu. Lihatlah, dia sudah menerima akibatnya.
Bertahun-tahun ia hidup dengan dibayang-bayangi rasa bersalah itu. Saat ia
memutuskan pergi ke Flores, ia pikir ia bisa mulai semuanya dari awal. Tapi
secara tak sengaja ia malah menemukanmu, seorang anak yang sangat berperan di
masa lalunya. Dia tak sengaja mendengarmu berbicara bahwa kau tak terlahir di
sini. Bahwa orang tuamu yang pebisnis meninggal karena kecelakaan kapal. Ia
sangat terkejut, Nak. Tak menyangka bahwa ia bisa menemukanmu. Sejak itu dia
berusaha mencari semua informasi tentangmu. Lalu ia menemui Kakek di sini.
Meminta maaf. Hidup ini adalah sebuah perjalanan Nak, biarkanlah masa lalu
tetap tertinggal di belakang. Meskipun itu menyakitkan, tapi ikhlaskanlah. Itu
adalah skenario dari Allah. Dia pembuat skenario terbaik, paling baik.”
“Tapi kata maaf tak akan
mengembalikan Ema dan Ine ke sini!” desis Tiara tajam.
“Itu benar, tapi kau tahu Nak?
Memaafkan orang lain bukan berarti membenarkan perbuatannya. Tapi lebih ke
menyadari bahwa setiap orang bisa melakukan kesalahan. Bahkan, seorang nabi
sekalipun tak luput dari kesalahan. Kakek pernah bercerita padamu bukan?”
Tiara mengangguk lemah, “tapi
kesalahannya terlalu besar Kek. Tiara sangat benci orang itu!”
“Kau tahu, Nak? Saat kita membenci
seseorang, terkadang kita sampai melupakan hal-hal baik yang pernah ia lakukan.
Bahkan meskipun hal baik itu besar, lebih besar dari kesalahannya.” Tiara
memandang Kakek, tak mengerti.
“Baiklah, Kakek akan menceritakan
sesuatu. Saat EmaInemu kecelakaan
kapal. Orang tua ini sangat panik. Dan langsung menuju ke lokasi kejadian, saat
itulah Kakek menemukanmu. Terapung-apung di lautan lepas bersama seorang pemuda
yang mendekapmu erat. Punggung pemuda itu terbakar. Sayang, ketika Kakek mau
menyelamatkanmu dan pemuda itu. Ombak besar datang, dekapan pemuda itu
terlepas, Kakek berusaha keras menyelamatkanmu. Setelah kau selamat, Kakek
berusaha menyelamatkan pemuda itu juga, tapi ternyata ia sudah menghilang di
telan ombak.” Kakek menghentikan ceritanya, memandang Tiara sejenak.
“Kakek tak tahu pemuda itu selamat,
sampai ia datang menemui Kakek.” Dahi Tiara mengernyit, apakah pemuda itu Dimas?
“Pemuda itu bernama Dimas Nak! Dia
telah menyelamatkanmu. Sesaat setelah ia tahu bahwa ia hanya diperalat, ia
berusaha menghentikan bom itu tapi sayang bom itu sudah tak dapat dihentikan
lagi, lalu meledak. Dimas panik, saat itulah dia melihatmu. Ia berusaha
menyelamatkanmu, sampai-sampai ia mengorbankan dirinya sendiri.”
Tiara terisak, ternyata Dimas tidak
seburuk yang ia kira dan ternyata Dimas sudah menyelamatkan hidupnya. Suasana
mendadak hening dan tiba-tiba terdengar isakan di sebelah mereka.
Tiara dan Kakek menoleh, ternyata
Dimas sudah berada di situ sejak tadi. Dia memutuskan menyusul Tiara ke sini.
Tiara menghambur ke pelukan Dimas.
“Aku sudah memaafkanmu, Bang. Terima kasih sudah
menyelamatkanku,” kata Tiara tulus.
Dimas tersenyum, duka masa lalunya,
penyesalannya perlahan-lahan menghilang. Berganti menjadi kebahagiaan. Begitu
pula dengan Tiara, bertahun-tahun kemudian dia memutuskan untuk tetap
membiarkan cinta itu di hatinya, tapi bukan lagi cinta seorang perempuan pada
laki-laki tapi cinta seorang adik pada abangnya.
TAMAT